Tuesday 17 June 2008

ikut diskusi buku anak berkebutuhan khusus di KPBA






Catatan dari Acara Diskusi Buku Anak untuk Anak Special Needs

Jumat, 16 Mei 2008.

KPBA, Permata Hijau, Jakarta.

Pembicara Heidi Cortner Boisen (Direktur Pusat Dokumentasi IBBY untuk Buku Anak Disabel) & Sissel Hofgaard Swensen (untuk buku anak kebutuhan khusus).

KPBA (Kelompok Pencinta Buku Anak) mengadakan sebuah diskusi menarik tentang buku-buku anak bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti anak-anak autistik, tunanetra, disleksia, hambatan penglihatan dan sebagainya.

Peserta diskusi adalah para pencinta buku anak yang terdiri dari ahli sastra, penulis buku dan illustrator buku seperti ‘Pak Raden’, story teller, guru/terapis anak kebutuhan khusus, guru sekolah minggu, penerbit dan dosen desain grafis. Acara dipandu oleh ibu Dr. Murti Bunanta SS., MA (ketua KPBA), seorang doktor di bidang sastra anak-anak yang berdedikasi tinggi terhadap perkembangan buku anak di Indonesia. Selain mengadakan seminar, lokakarya, pelatihan, perpustakaan dan kerjasama internasional, ia sendiri telah menulis buku anak. Hingga kini KPBA telah menerbitkan banyak sekali buku anak dengan ilustrasi menarik. Lebih lanjut dapat dilihat di http://www.kpba-murti.org/

Ibu Murti sendiri telah menaruh perhatian terhadap buku untuk anak berkebutuhan khusus sejak tahun 1989. Usahanya untuk mendatangkan 2 orang ahli dari IBBY yang berpusat di Basel adalah untuk memperkenalkan dan membuka kemungkinan mengembangkan buku jenis ini bagi penerbit, pengajar, desainer buku,guru, terapis dan orang tua anak berkebutuhan khusus di Indonesia.

Heidi Cortner Boisen

Sesi pertama dibawakan oleh Ms. Heidi Cortner Boisen (Direktur Pusat Dokumentasi IBBY untuk Buku Anak Disabel), http://www.ibby.org/ . Dia membawa 65 buah buku milik IBBY dari Norwegia, sebuah negara yang memberi dukungan kepada illustrator, penulis dan juga penerbit buku-buku anak.

Heidi memperlihatkan sejumlah buku dari berbagai negara yang didesain dan ditulis dengan indah dan komunikatif dari mulai cover sampai isinya. Terdiri dari buku-buku tactile (yang bisa diraba), buku dengan teks sederhana dan buku tanpa teks, yang terpilih menjadi ‘Outstanding Books for Young people with Disabilities 2007’. Diantaranya penulis dan illustrator terkenal seperti Dick Bruna (Belanda), buku The Hungy Catepillar-nya Eric Carle, bahkan buku yang dibuat oleh 2 orang anak mentally disabled dari Jepang yang menceritakan bagaimana pengalaman mereka berdua ketika diijinkan pergi sendiri naik bis ke kota (Hiromi and Mayuoko’s Days Out). Sebagai instrumen dalam berkomunikasi dan berpartisipasi, literatur memiliki peran yang penting dalam perkembangan identitas dan kualitas hidup. Itu sebabnya IBBY mengadakan proyek ini agar anak-anak ini agar mereka memiliki kegembiraan seperti anak lainnya dalam membaca.

Setiap buku yang dibawa dijelaskan oleh Heidy satu persatu, jenis, tujuan dan keunikan masing-masing buku, yang semuanya membuat kami kagum dan terharu, betapa setiap buku dibuat dengan khusus agar anak-anak yang mempunyai hambatan dalam membaca buku anak pada umumnya, dapat pula menikmati buku yang indah dengan caranya sendiri. Selama ini banyak anak-anak dengan disabilities tidak dapat menikmati buku anak karena mereka tidak dapat mendapatkan buku yang cocok dengan kendala yang dihadapi masing-masing anak. Oleh karena itu mereka butuh buku khusus yang diciptakan dengan alat bantu (Braille, video, kaset, CD), desain, bahasa, plot gambar dan struktur yang sesuai. Anak-anak dengan kebutuhan khusus, seperti juga kita semua, adalah individu yang memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-beda.

Heidi sendiri awalnya adalah seorang staf perpustakaan pada sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus, dengan murid 125 orang dan staf sekolah sebanyak 200 orang. Tak heran ia menjadi begitu fasih menerangkan setiap buku, membuat kami ingin tahu masing-masing buku yang dibawanya. Di Norwegia, anak-anak berkebutuhan khusus berhak masuk sekolah regular dan pada hari-hari tertentu mereka datang ke sekolah berkebutuhan khusus, sehingga mereka dapat belajar berinteraksi dengan anak-anak pada umumnya.

Tentang buku-buku.

Ada beberapa buku yang sudah biasa kita temukan di Indonesia , seperti buku dengan teks sederhana dan banyak ilustrasi atau gambar, tetapi ternyata banyak buku-buku lain yang tidak pernah diterbitkan oleh penerbit Indonesia . Berikut buku-buku yang menarik untuk kita kembangkan bagi anak-anak kuhsus, antara lain:

  1. Pino’s dagbok/Pino’s diary Pino's dagbok/Pino's diary (Norelid, Agneta/Pils, Eva)

Buku tentang Pino beruang dengan 1 sampai 3 kata, seperti Pino bangun, Pino mandi dan Pino ganti baju. Di dalamnya juga ditambahkan stiker dan bahasa isyarat dalam bahasa Swedia dan BLISS (bahasa simbol yang berkaitan dengan cerita).

  1. Everybody can come (Tidlom, Anna-Clara)

Menceritakan seorang anak perempuan kecil dengan mengendarai sebuah truk, diperjalanan ia mengajak yang sedih, kesepian, terluka dan helpless ikut masuk ke dalam truknya. Seorang anak laki-laki yang kakinya terbentur, seekor anjing yang sedang menggigil kedinginan, teddy bear yang sedang menangis, lalu mengundang semuanya untuk ikut menikmati makan malam yang hangat di rumahnya yang nyaman. Buku ini di lengkapi dengan bahasa isyarat dan video. Lihat pada situs ini bagaimana buku ini sedang dibacakan.

  1. Stop bugging me! (Broen, Ruth).

Buku dari kain/ tactile cloth book yang dapat ditempel-pasang, bagi anak dengan kesulitan penglihatan. Di dalamnya ada huruf Braille dengan teks sederhana. Buku ini terbuat dari kain-kain yang berasal dari berbagai penjuru dunia,seperti Finland oilcloth, Nigeria, Turkey, Guatemala dan India Cotton, Canada Goat, sehingga kita bisa merasakan perbedaan tekstur sekaligus memperkaya pengetahuan kita tentang keberagaman bangsa.

  1. Hiromi and Mayuko’s day out/Hiromi to Mayuko no futari dake no (Uchida,Yumi- teks, Nishiya, Ikuko – ilustrasi).

Hiromi dan Mayuko diijinkan pergi sendiri naik bis ke kota. Dalam buku ini diceritakan dengan dengan 3 cara (foto, ilustrasi dan simbol) bagaimana pengalaman mereka, seperti bagaimana jantung mereka berdegup kencang ketika mereka hendak membayar ongkos bis, bagaimana mereka memilih makanan dan mengungkapkan kelezatannya. Buku ini diceritakan oleh 2 orang anak mental disabled, dibantu para pembimbingnya yang mengedit dan memproduksi buku ini.

  1. Wish (Arena, Felish).

Seorang anak bernama Seb tak putus-putusnya berdoa bagi ibunya yang sedang sakit kanker. Kakaknya meremehkan keinginan adiknya, sampai ia mengatakan doanya akan terkabul jika dia berhasil menepukkan tangannya pada setiap100 pesawat yang ditemuinya. Mengingat mereka tinggal di padang yang amat sangat jarang dilewati pesawat, keinginan ini sungguh tak akan mungkin terjadi. Tapi anak ini sungguh-sungguh meyakini ia akan berhasil. Ia lalu pergi ke pelabuhan udara dan menemukan puluhan pesawat. Tetapi ia hanya menemukan 99 pesawat. Tiba-tiba ia bertemu dengan seorang anak kecil dan mereka berkenalan. Orang tua anak itu ternyata seorang dokter yang juga seorang pilot. Lalu sang ayah terbang bersama anaknya dan Seb, menerbangkan pesawat ke 100, datang ke rumah Seb untuk mengobati ibunya... (Cara Heidi menceritakan isi buku ini sampai membuat saya menitikkan air mata. Bayangkan bagaimana sebuah buku jika dibacakan dengan cinta bagi anak-anak oleh ayah-ibu, guru, pembimbing mereka. Bagaimana kita membacakannya, tidak harus dengan teori ini itu, tetapi dengan perasaan sayang dan ingin berbagi).

Hal lain yang menarik dari buku terpilih ini adalah cerita dan topik-topiknya, misalnya tentang mimpi/cita-cita dan bahkan ketakutan seorang anak, seperti Serena yang selalu takut menuruni anak tangga, anak-anak disabled yang ingin menjadi komedian (stand up comedian), seorang buta yang menceritakan bagaimana cara melatih anjing, buku tentang sorang remaja autistik yang menginap di cottage sepupunya (kegembiraan dan ketakutannya), cerita seorang detektif tunanetra yang berinvestigasi dengan mengandalkan indera pendengaran dan penciuman, dan cerita tentang emosi: kemarahan, cinta dan rasa malu.

Sissel Hofgaard Swensen

Sissel membagi pengetahuan dan pengalamannya dalam membuat buku. Menurutnya teks dan konten harus sederhana, konkrit, kronologis, ’sebersih batu di pantai yang sudah dibersihkan oleh air/ombak', setiap kata dipikirkan baik-baik, dibersihkan dari kata2 yang tidak perlu, seperti penggunaan metafora, karena tidak akan dimengerti oleh anak spektrum autistik.

Ditambahkan oleh Sissel, bagi anak mentally dissabled, gambar haruslah utuh. Orang dalam buku untuk tunanetra digambarkan dengan bertekstur dan berbentuk geometris, karena anak yang buta kurang ’feeling’ geometrisnya.

Tipografi juga menjadi perhatian dalam mendesain buku. Ukuran huruf yang dipilih harus sesuai dan tipe hurufnyapun harus sesuai dengan target audiens (anak) dan readability yang tinggi, seperti huruf Sasoon Primary, huruf yang mirip dengan tulisan tangan anak (menulis halus SD), dengan besar badan huruf yang tinggi.

Dari segi fisik, buku harus dapat dibolak-balik untuk meningkatkan interaksi. Kadang-kadang buku tidak usah dibacakan, tetapi untuk didiskusikan, misalnya hanya dengan bertanya: ”Apa yang kamu pikirkan atau bagaimana menurutmu?”. Karena anak mentally disabled biasanya takut mengekspresikan emosi karena dilarang oleh orangtuanya.


Lokakarya

Pada tanggal 18 Mei 2008, diadakan lokakarya pembuatan buku raba yang (sayangnya) khusus diperuntukan bagi guru-guru SLB se DKI saja.... (seandainya kita boleh ikut...)


Foto katalog diambil dari http.ibby.org